BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Dalam sejarah
perkembangan pemikiran Islam, umumnya dikenal adanya dua corak pemikiran, yakni
pemikiran yang bercorak rasional serta pemikiran yang bercorak tradisional.
Pemikiran yang bercorak rasional adalah pemikiran yang memberikan
kebebasan berbuat dan berkehendak kepada manusia, daya yang kuat kepada akal,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang terbatas, tidak terikat pada makna
harfiah, dan banyak memakai arti dalam memberikan interpretasi ayat-ayat
Al-Qur’an. Pemikiran ini akan melahirkan paham rasional tentang ajaran Islam
serta menumbuhkan sikap hidup yang dinamis dalam diri manusia. Paham ini
terdapat dalam aliran Mu’tazilah
Sebaliknya, pemikiran
yang bercorak tradisional adalah pemikiran yang tidak memberikan kebebasan
berkehendak dan berbuat kepada manusia, daya yang kecil bagi akal, kekuasaan
kehendak Tuhan yang berlaku semutlak-mutlaknya, serta terikat pada makna
harfiah dalam memberikan interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an.
Pemikiran ini akan
melahirkan paham tradisional tentang ajaran Islam serta akan menumbuhsuburkan
sikap hidup fatalistik dalam diri manusia. Paham ini terdapat dalam
aliran Asy’ariyyah. Kalau kaum Mu’tazilah banyak percaya pada kekuatan akal
manusia, kaum Asy’ariah banyak bergantung pada wahyu.
Sikap yang dipakai kaum
Mu’tazilah ialah mempergunakan akal dan kemudian memberikan interpretasi pada
teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Kaum Asy’ariah sebaliknya,
terlebih dahulu kepada teks wahyu dan kemudian membawa argumen-argumen rasional
untuk teks wahyu itu. Kalau kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil atau
interpretasi dalam memahami teks wahyu, kaum Asy’ariah banyak berpegang pada
arti lafzi atau letterlek dari teks wahyu. Dengan kata lain Mu’tazilah
membaca yang tersirat dalam teks, kaum Asy’ariah membaca yang tersurat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Timbulnya Aliran Asy’ariah.
Nama aliran Asy’ariah di ambil dari nama pendirinya yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari. Abu al-Hasan al-Asy’ari meninggalkan ajaran
mu’tazilah.Ada beberapa kemungkinan alasan yang menyebabkan al-Asy’ari
meninggalkan Mu’tazilah sekaligus merupakan penyebab timbulnya aliran
al-Asy’ariah, berikut ini dipaparkan :
Al-Asy’ari
sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan
ajaran Mu’tazilah. Pada suatu malam al-Asy’ari bermimpi bertemu dengan Nabi
Muhammad SAW, mengatakan kepadanya bahwa mazhab Ahli Hadislah yang benar, dan
mazhab Mu’tazilah salah[1].
Cerita yang paling umum disebut sebagai penyebab
keluarnya al-Asy’ari dari Mu’tazilah ialah kisah perdebatan antara
al-Asy’ari dengan gurunya al-Jubba’iy, tentang tempat untuk anak kecil di
akhirat. Menurut al-Jubba’iy, tempat anak kecil di akhirat bukanlah di bagian
tertinggi surga, karena anak kecil belum punya amal saleh sebagai tanda
ketaatan yang patut diberi pahala. al-Asy’ari bertanya, bagaimana kalau anak
itu mengatakan kepada Tuhan: “Itu bukan kesalahanku; sekiranya Engkau
memanjangkan umurku tentu aku beramal baik seperti yang dilakukan oleh orang
mukmin dewasa”. Jawab al-Jubba’iy; Tuhan akan berkata: “Aku tahu bahwa jika
terus hidup niscaya engkau akan berbuat dosa dan pasti masuk neraka, maka demi
kepentinganmu sendiri , Aku cabut nyawamu sebelum engkau menjadi orang dewasa mukallaf”. al-Asy’ari
bertanya selanjutnya, sekiranya yang kafir mengatakan: Engkau mengetahui masa
depanku, sebagaimana Engkau mengetahui masa depan anak kecil, maka apa sebabnya
Engkau (membiarkan aku hidup) tidak menjaga kepentinganku?”. Di sinilah
al-Jubba’iy terpaksa diam.
Menurut suatu riwayat, ketika ia mencapai usia 40 tahun,
ia mengasingkan diri dari orang banyak di rumahnya selama 15 hari, di mana ia
kemudian pergi ke masjid besar Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak,
bahwa ia mulai saat itu tidak lagi menganut paham Mu’tazilah, tapi menyusun
keyakinan yang baru.
Dalam Shorter Encyclopaedia of Islam karya H.A.R. Gibb dan J.H.
Kramers disebutkan bahwa “Al-Asy’ari, Abu al-Hasan, famous theologian, born at
Basra in the year 260 H / 873 M. The complete genealogy is : Ali b. Ismail b.
Ishak b. Salim b. Ismail b. Abd. Allah b. Musa b. Bilal b. Abi Burda. Abu Hasan al-Asy’ari nama lengkapnya adalah “Ali bin
Ismail bin Basyr Ishak bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal Abi
Bardah bin Abdullah bin Abi Musa al-Asy’ari.
Adapun masa hidupnya, al-Asy’ari terlahir pada tahun 260 H (873 M)
dan wafat pada tahun 524 H (935 M). Berarti dia hidup di dunia selama 64 tahun Qomariyah/Hijriyah
atau selama 62 tahun Syamsiyah/Masehi[2].
Kehidupan al-Asy’ari kesil tidak seberuntung masa kanak-kanak pada umumnya.
Karena sejak kecil dia telah ditinggalkan oleh ayah kandungnya, Ismail. Dan
ibunya kemudian dipersunting oleh Abu Ali al-Juba’i, seorang tokoh
kenamaan Mu’tazilah. Maka dalam pelukan ayah tiri inilah al-Asy’ari dididik dan
dibesarkan.
Seorang ahli hukum Islam (fiqih) terkenal, pemuka teolog Islam dan pendiri
aliran Asy’ariyah. Ia mempunyai hubungan nasab dengan sahabat Nabi s.a.w, yaitu
Abu Musa al-Asy’ari r.a yang banyak meriwayatkan hadis beliau[3]. Pada
bidang teologi beliau banyak berguru pada Ali al-Jubbai; demikian juga beliau
belajar fiqhi Syafi’i kepada seorang faqih yaitu Abu Ishak al-Maruzi seorang
tokoh Muktazilah di Basrah[4].
Adapun karya-karyanya,
di antaranya beberapa judul yang sampai kepada kita ialah :
1.
Al-Ibanah ‘an Ushul
al-Diyanah (Dalam kitab ini memaparkan berbagai hal pokok keagamaan yang didasarkan
pada pemikiran kalamnya dan kemudian menjadi acuan bagi kaum Sunni).
2.
Al-Luma’ (Kitab ini lebih
menyoroti argumen-argumen lawan atau aliran kalam yang dianggapnya tidak benar,
dan memberikan dalil-dalil naql (al-Qur’an dan al-Sunnah) serta argumen
akal yang relevan.
3.
Maqalat al-Islamiyyin
wa Ikhtilaf al-Mushallin. (Pokok-pokok kitab ini menguraikan tentang
bermacam-macam golongan Islam beserta pendapat masing-masing dan lebih
merupakan kajian comparative (perbandingan). Sehingga terlihat jelas
mana kelompok Alussunnah Waljamaah berada)[5].
Diantara
Tokoh-tokoh terpenting lainnya yang mendukung dan meyebarkan ajaran Asy’ariyah
adalah :
1. Al-Baqillani
Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat
kelahiran gurunya, yaitu al-Asy’ari. Ia terkenal cerdas otaknya, simpatik dan
banyak jasanya dalam pembelaan agama. Bukunya yang terkenal ialah “At-Tahmid”,
yang berarti “Pengantar” atau “Pendahuluan”. Dalam buku ini ia antara lain
membicarakan hal-hal yang perlu dipelajari sebelum memasuki Theologi Islam,
diantaranya tentang Jauhar-Fard (atom), ‘aradh dan cara-cara pembuktian
(istidlal).
Dalam beberapa hal Al-Baqillani tidak sefaham dengan Asy’ari , diantaranya
tentang sifat Tuhan. Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi Al-Baqillani
bukanlah sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat yang sebaliknya.
Adapun tentang tentang perbuatan manusia, menurutnya; Manusia mempunyai
sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Tuhan
ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia adapun bentuk atau sifat dari
gerak itu dihasilkan oleh manusia sendiri. Denngan lain kata, gerak dalam diri
manusia mengmbil berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan
sebagainya.
2. Al-Juwaini
Namanya Abdul Ma’ali bin Abdillah, dilahirkan di Naisabur (Iran), kemudian
setelah besar pergi ke kota Mu’askar, dan akhirnya tinggal di kota Bagdad.
Kegiatan ilmiahnya meliputi Usul Fiqih dan theology Islam, ia mengikuti jejak
al-Baqillani dan al-Asy’ari dalam menjunjung tinggi kekuasaan akal pikiran,
suatu hal yang menyebabkan kemarahan ahli-ahli hadits kepadanya. Akhirnya ia
terpaksa meninggalkan Bagdad, menuju Hejaz dan bertempat tinggal di Mekkah
kemudian ke Madinah untuk memberikan pelajaran di sana. Karena itu ia mendapat
gelar “Imamul Haramain”.
Dalam bukunya, “al-irsyad”, yang berisi pokok-pokok kepercayaan ia
menandaskan bahwa kewajiban seorang muslim dewasa ialah mengadakan penyelidikan
akal pikiran yang bisa membawa kepada keyakinan bahwa alam semesta ini baru,
dan kalau baru tentu ada yang menjadikannya, itulah Tuhan.
Pendapat Al-Juwaini tentang anthropomorphisme adalah; Tuhan harus
diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan
wajah Tuhan diartikan wujud tuhan. Dan keadaan Tuhan duduk di atas takhta
kerajaan diartikan Tuhan Berkuasa dan Maha Tinggi. Sedangkan tentang perbuatan
manusia, menurutnya daya yang ada pada manusia juga mempunyai efek Tetapi
efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud
perbuatan tergantung pada daya yang ada manusia, wujud daya ini bergantung pula
pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan
demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu
Tuhan.
3. Al-Ghazali
Namanya Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Gazali, lahir 450 H, di Tus kota
kecil di Churrasan (Iran). Perkataan “al-Ghazali” kadang-kadang diucapkan
“al-Ghazzali” (dua kali z). “Al-Ghazzali”, dengan menduakalikan z diambil dari
perkataan “Ghazzala”, artinya tukang pemintal benang wool, sedang “al-Ghazali”,
dengan satu z, diambil dari perkataan “Ghazalah”, nama kampong kelahiran
al-Ghazali. Ayah al-Ghazali, adalah seorang tasawuf yang saleh dan meninggal
dunia ketika al-Ghazali beserta saudaranya masih kecil. Akan tetapi sebelum
wafat ia telah menitipkan kedua anak tersebut kepada seorang tasawuf pula untuk
mendapatkan bimbingan dan pemeliharaan dalam hidupnya.
Al-Ghazali pertama-tama belajar ilmu agama di kota Tus, kemudian meneruskan
ke Jurjan, dan akhirnya di Naisabur pada imam al-Juwaini, sampai yang terakhir
ini wafat pada tahun 505 H/ 1111 M. Kemudian ia berkunjung kepada Nizamul Mulk
di kota Mu’askar, dan di sini ia mendapat penghormatan dan penghargaan yang
besar daripadanya, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya. Pada
tahun 483 H/ 1090 M ia diangkat menjadi guru di sekolah Nizamiah Bagdad. Selama
waktu itu ia tertimpa kerahu-raguan tentang kegunaan pekerjaannya, sehingga
akhirnya ia menderita penyakit yang tidak bisa diobati dengan obat lahiriah
(physiotherapy). Pekerjaannya itu kemudian ditinggalkan pada tahun 488 H untuk
menuju Damsyik, dan di kota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang
lebih dua tahun, dengan mengambil Tasawuf sebagai jalan hidupnya.
Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya dan mempunyai
nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya,
meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain; Theologi Islam, hukum Islam,
tasawuf, tafsir, akhlak, dan adab kesopanan, sebagian besar dari buku-buku
tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan yang lain ditulisnya dalam bahasa Persi.
Diantara kitabnya yang terbesar adalah “Ihya Ulumuddin” yang artinya
“Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama”, dan yang dikarangnya beberapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah antara Syam, Jerussalem, Hejaz, dan Tus dan berisi paduan
yang indah antara fiqih, tasawuf, dan filsafat. Buku yang lain yaitu,
“al-Munqidz minaddhalal” (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah
perkembangan alam pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap
beberapa macam ilmu serta jalan untuk mencapai Tuhan[6].
B. Pokok-Pokok Ajaran al-Asy’ariah.
Formulasi pemikiran Asy’ariah secara esensial
menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrim di satu
sisi dan Mu’tazilah disisi lain. Dari segi etosnya, pergerakan tersebut
memiliki semangat ortodoks. Aktualitas formulasinya jelas menampakan sifat yang reaksionis terhadap Mu’tazilah, sebuah reaksi yang tidak dapat
dihindarinya.
Pemikiran-pemikiran atau
pokok-pokok ajaran Asy’ariyah yang terpenting adalah berikut ini :
1.
Tuhan dan sifat-sifat Nya.
Perbedaan pendapat di
kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun
mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib.
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan
dengan kelompok Mujassimah dan kelompok musyabihah yang berpendapat bahwa Allah
mempunyai sifat yang disebutkan dalam Al-qur’an dan sunnah dan sifat-sifat itu
harus difahami menurut arti harfiahnya. Di lain pihak ia berhadapan dengan
kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak ada selain esensi Nya. Adapun tangan, kaik,
telinga Allah atau Arsy atau kursi tidak bisa diartikan secara harfiah, melainkan harus dijelaskan secara alegoris.
Menghadapi dua kelompok
tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki
sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan, kaki dan ini tidak boleh diartikan secara harfiah, melainkan secara simbolis. Selanjutnya,
Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
2.
Kebebasan dalam berkehendak
Dalam hal apakah manusia
memiliki kemampuan untuk memilih, menentukan, serta mengaktualisasikan
perbuatannya
? Dari dua pendapat yang ekstrim, yakni Jabariyah yang fatalistik dan
menganut faham pradeterminisme semata-mata dan Mu’tazilah yang menganut faham
kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya
sendiri. Al-Asyari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta (khalik) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala
sesuatu (termasuk keinginan manusia).
3.
Akal dan wahyu dalam Penentuan baik dan buruk
Walapun Al-Asy’ari dan
orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari
akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara
Mu’tazilah megutamakan akal. Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan
pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus
berdasar pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah berdasar pada akal.
4.
Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim dalam persoalan qadimnya Al-Qur’an,
jika mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk) sehingga tidak qadim sedangkan pandangan madzab hambali
dan zahiriyah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim
dan tidak diciptakan). Zahiriyah bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata,
dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim. Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang
saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Quran terdiri
atas kata-kata, huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan
karenanya tidak qadim.
5.
Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak
sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrim, terutama zahiriyah, yang
menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah
bersemayam di Arsy. Selain itu, ia tidak sependapat dengan mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah atau melihat Allah di akhirat.
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah yakin dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat
digambarkan kemungkinan ru’yah dapat terjadi manakala Allah sendiri yang
menyebabkan dapat dilihat atau bilaman ia menciptakan kemampuan penglihatan
manusia untuk melihatnya.
6.
Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari
dan mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam
memandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah
dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak
memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian
jelaslah bahwa mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
7.
Kedudukan orang berdosa.
Al-Asy’ari menolak ajaran
posisi menengah yang dianut mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman
merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya.
Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufr[7].
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan yang menyangkut pemahaman dan
aliran teologi Islam Asy’ariyah di atas, maka dapatlah ditarik beberapa garis
besar atau kesimpulannya adalah sebagai berikut :
1. Perkembangan
dan munculnya berbagai aliran-aliran disebabkan oleh adanya ketidakpuasan atas ilmu-ilmu
yang berkembang saat itu. Mu’tazilah dengan kekuatan rasionalnya dan Asy’ariyah
sebagai rivalnya, telah memberikan keberanian berfikir atas ketidakpuasan
keilmuan yang sedang berkembang saat itu.
2. Perbedaan
pandangan antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah sebenarnya disebabkan oleh
adanya perbedaan dimensi pandangan, yang apabila diteliti lebih jauh akan
merupakan buah pemikiran yang sangat luas.
3. Prinsip-prinsip
yang dipergunakan mereka mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di
satu sisi, mengajak manusia untuk hidup optimis dengan berbagai potensi yang
dimiliki, dan di pihak lain, mengajak orang untuk selalu percaya bahwa Tuhan
selalu hadir dalam setiap gerak dan nafas kita.
4. Selanjutnya,
pemikiran Asy’ari dilanjutkan dan disebarkan oleh para muridnya. Hanya saja,
pemikirannya tersebut tidak diambil seratus persen, tetapi ada yang dibenahi
dan dikoreksi.
5.
Adapun
pergolakan antara Asy’ariyah dan Mu’tazilah di antaranya terjadi dalam beberapa
permasalahan, seperti Al-Qur’an, sifat Allah, status pelaku dosa besar
dan masalah keyakinan yang lain-lainnya. Semoga pergolakan tersebut dapat
semakin mendewasakan umat Islam dalam berpikir dan sekaligus mendorong mereka
untuk selalu berpegang teguh pada Al Qur’an dan keteladan Rosululloh SAW dalam
kehidupan sehari-hari.
B. SARAN
Demikianlah
hasil buah pemikiran kelompok kami, tentunya masih banyak kesalahan dan
kekurangan yang ada dalam makalah ini. Untuk itu saran, kritik dan masukan yang
konstruktif kami harapkan selalu demi berkembangnya pemikiran kita bersama. Dan
kami hanya dapat berharap, sedikit coretan ini akan mendatangkan manfaat bagi
kita bersama, amin ya rabbal ‘alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Azis Dahlan, TEOLOGI FILSAFAT TASAWUF dalam ISLAM, Ushul
Press, Jakarta, 2012
Noer
Iskandar al-Barsany, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah
Waljamaah (Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001)
Muhammad
Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cet.III;
Jakarta: Lantabora Press, 2005)
Ahmad Amin, Zuhr Islam, Jilid IV (Beirut: Dar
al-Fikr, 1969)
http://zaenalarifin07.blogspot.com/2013/11/aliran-asyariyah.html
[2] Noer
Iskandar al-Barsany, Biografi dan Garis Besar Pemikiran Kalam Ahlussunnah
Waljamaah (Ed.I, Cet.I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 3.
[3] Muhammad
Tholhah Hasan, Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cet.III;
Jakarta: Lantabora Press, 2005), h. 14.
[4] Ahmad
Amin, Zuhr Islam, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1969), h. 65.
[6] http://zaenalarifin07.blogspot.com/2013/11/aliran-asyariyah.html
[7] http://zaenalarifin07.blogspot.com/2013/11/aliran-asyariyah.html
No comments:
Post a Comment