Search This Blog

Search

Tuesday, December 8, 2015

MAKALAH HADITS TENTANG CARA MENERIMA DAN MENYAMPAIKAN HADITS

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah


Hadits adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik itu perkataan, ataupun pengakuan beliau[1]. Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar-riwayah. Ar-riwayah adalah bentuk masdar dari kata rawa yang berarti penukilan, penyebutan, pemintalan dan pemberian minum sampai puas. Sedangkan dalam bahasa Indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Jika dihubungkan dengan hadis, berarti berita atau kabar yang umum untuk menerangkan hukum syara’. Dalam bahasa Arab biaa diistilahkan dengan:
حَبَرُ عامُّ يُقصدبه تعريْفُ دَلِيْلِ حُكْمٍ شَرْعيٍّ
                  Sedangkan menurut istilah ilmu hadis berarti memindahkan hadis dan menyandarkan kepada seseorang dengan metode tertentu. Atau kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis serta pengandarannya kepada rangkaian para periwayat dengan bentuk-bentuk tertentu. Dalam periwayatan hadis harus memenuhi tiga unsur, yaitu:
  1. Kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis (at-tahammul)
  2. Kegiatan menyampaikan hadis kepada orang lain (al-ada’)
  3. Penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan hadis (al-isnad)[2].
Periwayatan semakin mendapat perhatian khusus dari umat Islam. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi SAW:
وَحَدِّثُواعَنِّى وَلاَحَرَجَ وَمضنْ كَدَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَّؤَا مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه البخارى ومسلم)
“Dan ceritakanlah daripadaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu dengar dari padaku. Barangsiapa berdusta terhadap diriku hendaklah dia bersedia menempati kediamannya di neraka”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah adanya keharusan persambungan dalam sanadnya, mulai dari periwayat tingkat yang disandari oleh mukharrif sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis dari Nabi SAW, yang semuanya itu harus diterima dari periwayat yang adil dan dabit.

B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian periwayatan (Ar-Riwayah)?
2.      Bagaimana kualifikasi perawi dalam menerima hadis?
3.      Bagaimana kualifikasi perawi dalam menyampaikan hadis?

C.    Tujuan Pembahasan

1.      Untuk mengetahui pengertian periwayatan (Ar-Riwayah).
2.      Untuk mengetahui kualifikasi perawi dalam menerima hadis.
3.      Untuk mengetahui kualifikasi perawi dalam menyampaikan hadis.

D.    Batasan Masalah

Penulis selaku penyusun membatasi pembahasan hanya sampai pada rumusan masalah yang telah disebutkan diatas.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Periwayatan

Yang dimaksud dengan Rawi ialah “Orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atu diterimanya dari seseorang (gurunya)”. Bentuk jamaknya Ruwat, perbuatan menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rawi (riwayatkan) hadits[3]. Kata riwayat, dari segi bahasa berarti “memindahkan dan menukilkan berita dari seseorang kepada orang lain”[4].

Periwayatan (ar-riwayah) adalah salah satu jalan menuju kabar, berita. Dan setiap kabar berfungsi untuk memberitakan. Dalam ar-riwayah disamping akal dan pancaindera yang sempurna bisa juga berfungsi untuk memberitahukan[5].

         Periwayatan hadits mempunyai keistimewaan dan ciri-ciri khusus yang membedakan dari periwayatan-periwayatan yang ada sebelumnya yakni.
1.      Periwayatan umat Islam terhadap aspek periwayatan

Periwayatan sebelum umat Islam dikalangan orang Arab dan lainnya sebatas pada penyampaian kabar atau berita tanpa memperhatikan orang yang menyampaikan dan kebenaran berita itu. Namun ketika Islam datang dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, yang membawa ajaran yang benar, sangat menekankan pentingnya penelitian berita yang diterima. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam surat al-Hujurat ayat 6:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
2.      Aspek persambungan sanad hadits
Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah adanya keharusan persambungan dalam sanadnya, mulai dari periwayat tingkat yang disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi saw, yang semuanya itu harus diterima dari periwayat yang adil dan dabit[6].

B.     Kualifikasi Perawi dalam Menerima Hadits

1.      At-tahammul
At-tahammul adalah (cara) seseorang mendapatkan atau menerima hadits dari seorang guru dengan cara atau metode-metode tertentu[7].
2.      Tahammul
Tahammul adalah pengambilan hadits (oleh murid dari guru) dengan salah satu cara dari cara-cara tahammu[8]l.

Syarat-syarat At-tahammul
Adapun syarat At-tahammul yakni baliq, dewasa, Islam, adil, dhabil. Adapun ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya anak kecil (yang belum baliq) menerima atau mendengar hadits. Hanya saja mereka memperselisihkan tentang batas-batas minimal umur anak yang belum dewasa yang dapat diterima riwayatnya yakni:
a.       Batas minimalnya ialah umur lima tahun.
b.      Pendapat Al-Hafidz Musa bin Harun, menurutnya pendengaran anak dianggap sah bila sudah bisa membedakan antara sapi dan keledai (maksudnya adalah tamyiz).
c.       Pendapat yang ketiga adalah ukuran tamyiz, yaitu jika si anak itu sudah bisa memahami suatu pembicaraan, maka dia disebut mumayyiz dan sah pendengarannya (walaupun usianya mungkin dibawah lima tahun)[9].

C.    Kualifikasi Perawi dalam Menyampaikan Hadits

1.      Al-Ada’
Al-ada’ adalah cara seseorang menyampaikan atau meriwayatkan hasil kepada orang atau periwayat lain dengan menggunakan sighat-sighat tertentu[10].

Syarat-syarat Al-Ada’
a.       Beragama Islam

Riwayat orang kafir maupun fasiq tidak dapat diterima. Karena orang Islam dalam menerima hadits nabi adalah dalam rangka menjalankan ajaran agamanya yang benar. Allah menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat orang fasik sebagai yang diterangkan dalam firman Allah surat Al-Hujurat: 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

b.      Baliqh
Riwayatnya anak-anak yang belum dewasa (baligh) tidak bisa diterima dengan alasan hasil yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud dan Hakim dari Umar dan Ali, yaitu:


رُفعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَنْ المَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلَى مَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَوَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِّيِ حَتَّى يَحْتَلِمَ

“Diangkat kalam dari tiga orang, dari orang gila, yang digagahi akalnya sehingga dia sembuh, dari orang tidur sehingga dia bangun, dari anak kecil sehingga dia dewasa.”

2.                                c.        Adil (al-‘adalah)

Yaitu sifat yang terhunjam pada diri seseorang yang mendorong untuk selalu bertaqwa dan menjaga muru’ah dirinya yang bisa menimbulkan suatu kepercayaan (siqat). Atau dengan kata lain al-‘adalah (العدالة) adalah suatu sikap yang harus dimiliki oleh perawi dari segi kepribadiannya (kualitas pribadi periwayat), yang mencakup aspek agama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah.

Dengan sifat tersebut maka seseorang itu akan menjauhi perbuatan dosa besar dan sebagian dosa kecil, seperti mencuri sesuap makanan serta menjauhi perbuatan yang mubah yang dapat merusak muru’ahnya, seperti makan sambil berjalan, buang air kecil di jalan besar,  bergaul dengan orang-orang yang rendah budi pekertinya dan terlalu sering bergurau.

Disebutkannya syarat ini disamping dua syarat sebelumnya adalah untuk penekanan semata, bahwa orang Islam dan baligh belum tentu memiliki sifat al-adalah ini; atau seorang baru dikatakan bersifat adil, dalam istilah ilmu hadits apabila orang itu telah memenuhi beberapa syarat diantaranya beragama Islam dan mukallaf.

Ibnu Hajar al-Asqalaniy menyebutkan ada beberapa perilaku atau keadaan yang dapat merusak sifat adil seseorang yaitu: (1) suka berdusta; (2) tertuduh telah berdusta; (3) berbuat atau berkata fasik tetapi belum sampai menjadikannya kafir; (4) tidak dikenal jelas pribadi dan keadaan diri orang itu sebagai perawi hadits; (5) berbuat bid’ah yang mengarah kepada fasik, tetapi belum menjadikannya kafir.


Sedangkan cara untuk mengetahui keadilan perawi adalah berdasarkan:
1.  Popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama hadits. Perawi yang terkenal keutamaan pribadinya, misalnya: malik bin Anas, Sufyan as-Sauriy.
2.  Penilaian dari para kritikus perawi hadits. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri perawi hadits.
3.      Penerapan kaedah al-jarh wa at-ta’dil. Cara ini ditempuh bila para kritikus perawi hadits tidak sepakat tentang kualitas pribadi perawi hadits.[11].





BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Yang dimaksud dengan Rawi ialah “Orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa yang pernah didengar atu diterimanya dari seseorang (gurunya)”. Bentuk jamaknya Ruwat, perbuatan menyampaikan hadits tersebut dinamakan me-rawi (riwayatkan) hadits.
         Periwayatan hadits mempunyai keistimewaan dan ciri-ciri khusus yang membedakan dari periwayatan-periwayatan yang ada sebelumnya yakni.
           1.      Periwayatan umat Islam terhadap aspek periwayatan
           2.      Aspek persambungan sanad hadits

     Kualifikasi Perawi dalam Menerima Hadits
           1.      At-tahammul
           2.      Tahmmul

    Kualifikasi Perawi dalam Menyampaikan Hadits
          1.      Al-Ada’
          2.      Adil (al-‘adalah)

B.      Saran

Demikianlah hasil dari tugas yang penulis buat. Dalam penulisan tugas ini penulis merasa banyak kekurangan baik dari isi tugas ini maupun cara penulisannya. Untuk itu penulis minta ada kritikan dan saran dari para pembaca semuanya.











DAFTAR PUSTAKA

M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991)

Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadis, (Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2002)

M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991)


Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dinayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976)

Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadis

Salamah Noorhidayati, Ar-Riwayah bi Al-Ma’na (Studi tentang Metode Periwayatan Hadis), (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 1998)
Salamah Noorhidayati, Diklat Ulumul Hadis,





[1]M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), 2
[2]Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadis, (Tulungagung: STAIN Tulungagung, 2002), 1

[3] M. Syuhudi Ismail, Ilmu Hadis, (Bandung: Angkasa, 1991), 17
[4] Ibid, 17
[5] Salamah Noorhidayati, Diklat Ulumul Hadis, (Tulungagung, STAIN Tulungagung, 2002), 2

[6]Ibid, 3-4
[7]Ibid, 5
[8]Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dinayah Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 38
[9] Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadis, 5-6

[10] Salamah Noorhidayati, Ar-Riwayah bi Al-Ma’na (Studi tentang Metode Periwayatan Hadis), (Yogyakarta: Fak. Ushuluddin, 1998), 15

[11] Salamah Noorhidayati, Diklat Ulumul Hadis, 7-10

No comments:

Post a Comment